Senin, 12 Oktober 2009

PEDIH

Snape menggoyang-goyangkan gelasnya, otomatis es di dalamnya bergerak dalam minuman keras itu. Ia berbicara pelan agar tak terdengar Death Eaters yang lain, “Narcissa sudah lepas. Ia disembunyikan oleh Orde.”

Draco mengangguk pelan, “Baiklah kalau begitu. Dad sudah dibunuh oleh Dia. Sekarang, kalau Mum sudah lepas dari pengaruhnya … aku akan melakukan apa saja untuk Orde.”

Snape menghela napas, “Aku juga sudah menemukan lokasi barang terakhir. Kalau Anak Itu sudah menghancurkannya, aku akan membereskan Nagini. Setelah itu kita harus bersiap-siap untuk Perang,” Snape menghirup sedikit minumannya, “aku akan memikirkan cara pengiriman beritanya dulu.” Snape menghirup habis seluruh minumannya dan berdiri, “Aku mau ke ruang bawah tanah, kalau kau mencariku.”

Draco mengangguk.


Hanya berselang beberapa menit kemudian setelah Snape lenyap di balik pintu, masuklah beberapa orang Death Eaters lain. Jubah mereka kotor, dan ada yang robek-robek. Darah kering di mana-mana. Mereka seperti habis bertempur. Dan seperti menyeret sesuatu.

“Draco! Lihat, kami membawa sesuatu untukmu! Goyle bilang, kau pasti senang. Sayang dia keburu mati, tidak bisa melihat wajahmu menikmatinya!” Amycus setengah berteriak, ditimpali oleh cekakakan Death Eaters lainnya.

Draco berdiri dan melihat apa yang mereka bawa.

Gadis Granger itu.

“Dia bertempur habis-habisan, sayang jumlah kami lebih banyak. Sudah akan kubunuh saja dia, kalau Goyle tidak mengingatkan bahwa kau akan senang menerimanya sebagai hadiah,” Amycus setengah melemparkannya. Gadis itu tersungkur.

Draco berjongkok. Hermione mengangkat mukanya dengan marah.

Dan meludahinya.

Namun Draco terlihat tenang. Dingin malah. Disekanya wajahnya dengan lengan.

Dengan sekali sentak ia menarik lengan gadis itu agar berdiri. Setengah menyeret dibawanya gadis itu melewati para Death Eaters yang ribut bersorak-sorai.

Tanpa bicara ia langsung menuju kamarnya. Tidak dipedulikannya gadis itu meronta-ronta. Ia masuk, mendorong gadis itu ke ranjang, kembali ke pintu, menutup pintu yang langsung mengunci sendiri.

Hermione yang jatuh dengan posisi tertelungkup didorong ke atas ranjang, berusaha bangkit secepatnya. Tapi begitu terduduk, tangan Draco menahan bahunya. Tangan Draco yang satu memberi isyarat agar ia diam.

Ia diam keheranan. Gemetar menahan marah. Tapi Draco malah berjalan ke arah meja, meraih tempat air minum dan menuangkannya ke gelas. “Minumlah,” katanya datar.

“Aku tak akan menyentuh…” Hermione menyergah galak.

“Air putih biasa. Tidak dibubuhi apa-apa,” sahutnya, masih datar.

Hermione menerima gelas dengan ragu-ragu. Tapi diminumnya juga.

Rupanya air putih itu menenangkan. Hermione mengatur napasnya.

“Aku akan mencari jalan untuk melepaskanmu,” sahut Draco ketika melihat Hermione sudah tenang.

“Bagaimana kau bisa berkata seperti itu?” Hermione menatapnya curiga.

Draco menghela napas, “Sejak Dumbledore mengatakan bahwa ia akan melindungiku, sebenarnya aku sudah bimbang,” ujarnya lirih. “Tapi Dad masih dalam genggaman Dark Lord, begitu pula Mum. Begitu Dad melarikan diri dari Azkaban, sampai ke sini, ia langsung dibunuh. Di hadapanku. Ia juga merapal mantra agar Mum tidak bisa melarikan diri. Aku terpaksa melakukan apa saja yang diperintahkan…”

Untuk sejenak Hermione bisa merasa iba pada Draco.

Tapi tidak beberapa detik kemudian.

Wajah Draco tiba-tiba terlihat tegang. Kalaulah ia seekor serigala tentulah telinganya sudah runcing tegak waspada.

Detik berikutnya Hermione menyesal kenapa ia tetap duduk di sisi ranjang –kenapa ia tidak berdiri jauh-jauh dari ranjang? Karena Draco tiba-tiba menerkamnya dengan ganas, membuat Hermione terbanting terbaring, dihimpit Draco yang langsung membuatnya tidak bisa berteriak. Mulut Draco mencari mulut Hermione dengan kasar. Kedua tangan Hermione dipiting Draco, bahkan kaki Hermione juga hanya bisa bergerak-gerak sedikit, meronta-ronta putus asa.

Lidah Draco mulai terasa berusaha membuka mulut Hermione, berputar mendorong. Hermione berusaha sekuat tenaga menghindar, tetapi Draco lebih kuat. Lidah Draco menerobos masuk dengan liar, mencari-cari lidah Hermione, menangkapnya dan menghisapnya dengan ganas.

Hermione tiba-tiba merasa putus asa. Dua butiran berguliran dari kedua matanya. Apakah ia akan berakhir di sini, diperk …

Sama tiba-tibanya seperti saat Draco menyerangnya, tiba-tiba saja Draco menghentikan serangannya, melepasnya, berdiri jauh-jauh darinya, dan berucap lirih, “Maafkan .. maafkan ..”

Hermione tersengal-sengal, berusaha duduk dengan agak limbung, shock karena serangan tiba-tiba, dan shock atas perubahan sikap Draco yang tak terduga.

Draco masih mengulang kata-katanya, “Maafkan aku .. Tapi aku harus, agar terlihat ..” dia menghela napas panjang, berusaha mengatur napas, “Itu tadi Mata.”

“Mata?” Hermione biasanya cerdas, tapi dalam keadaan sekarang dia sama bingungnya dengan anak terbodoh.

“Ya. Mata.” Draco menghembuskan napas, “Dark Lord memiliki cara untuk mengontrol anak buahnya. Di markas ini Dia mempunyai mantra untuk melihat berkeliling jarak jauh …”

Hermione tiba-tiba merasa seperti melihat film Muggle di mana digambarkan sebuah penjara yang dilengkapi dengan lampu sorot yang berputar setiap sekian menit sekali.

“Lalu, bagaimana …”

“Aku akan mencari jalan untuk melepaskanmu.” Draco berjalan mendekati pintu, “Aku akan mengunci pintu ini. Untuk jaga-jaga. Aku segera kembali.”

Hermione duduk dengan lemas. Ia mencoba menata pikirannya. Pertempuran. Bisa dibilang ia dikeroyok karena jumlah tidak seimbang, tapi ia sudah bertahan mati-matian. Ia dikalahkan tapi tidak dibunuh. Malah di bawa ke sini. Dan .. nyaris saja terjadi perkosaan. Draco Malfoy, dapatkah ia dipercaya?

Entah berapa lama ia duduk dengan pikiran berseliweran semacam itu. Dan ada dua atau tiga kali ia merasa suasana yang aneh lewat. Bulu kuduknya merinding. Serasa ada yang memandang, mengawasi dari jarak dekat. Mata-kah itu?

Untuk kesekian kalinya Mata lewat, saat Draco membuka kunci pintu. Walau agak sangsi, kali ini Hermione setengah membiarkan Draco menindihnya, menutupi mulutnya dengan mulut, memaksanya membuka mulutnya. Lidah Draco mencari-cari. Setengah hati dibiarkan Draco menghisap lidahnya, dan … apakah itu?

Hermione merasa ada benda kecil seperti tabung berpindah dari lidah Draco ke lidahnya. Lidah Draco memaksanya untuk menelannya. Setengah gelagapan ia menelannya. Setelah itu lidah Draco menghentikan upayanya, mundur teratur.

Dan segalanya menjadi gelap.


Dingin.

Itu yang pertama kali dirasakan oleh Hermione. Memang ia terbalut oleh jubah .. jubah siapakah ini? Yang teringat, dia diseret ke markas Death Eaters hanya dengan memakai pakaian sehari-hari, tidak memakai jubah.

“Kau sudah sadar rupanya,” Draco mendekatinya.

“Di mana kita?”

“Di Forbidden Forest.”

“Kenapa..?” Hermione tidak bisa memutuskan apa dulu yang mesti ditanyakan. Tapi Draco sudah lebih dulu menjawabkan.

“Aku minta maaf, tapi aku tidak menyentuhmu kecuali apa yang … diperlukan,” katanya serba salah. “Snape memberi kapsul pemindah jiwa. Aku tidak tahu bagaimana memberikannya padamu, apalagi Mata saat itu sedang lewat. Jadi .. kulakukan itu. Maaf,” katanya meminta maaf lagi. “Kau … mati dalam beberapa saat. Aku berteriak pada para Death Eaters, agar mereka menyaksikan sendiri kau sudah mati. Lalu mereka menyuruh Wormtail –dia paling sering disuruh-suruh—untuk membuang mayatmu. Saat mereka meninggalkanmu, saat Wormtail belum datang, aku cepat-cepat men-Transfigurasi sepotong kayu menjadi kau, memakaikan bajumu,” lirih suaranya, “dan aku men-Transfigurasimu menjadi sepotong kayu. ‘Mayat Hermione’ dibuang, dan aku pergi berjalan-jalan dengan ‘sepotong kayu’ di jubahku. Aku ber-Apparate ke sini, tempat terdekat dengan Hogwarts, dan men-Transfigurasimu kembali. Maaf .. kau tidak memakai baju ..”

Hermione lebih merapatkan jubahnya. Tapi ia mengangguk pada Draco, “Terima kasih .. kau sudah melepaskanku..” Lalu baru dilihatnya, di hutan yang begini dingin Draco tidak memakai jubah. Jubah Draco tentu dipakaikan padanya.

“Jubahmu ini .. bagaimana nanti ..”

Belum sempat Draco menjawab, dua sosok ber-Apparate dengan posisi siaga. Tongkat teracung ke arah Draco.

“Draco Malfoy! Berani-beraninya kau mendekati Hogwarts! Kau mau lari ke mana sekarang!” suara parau Alastor Moody membuat Hermione berteriak gembira.

“Alastor! Remus!”

“Hermione! Bagaimana kau bisa lolos? Kami kira kau sudah ..” Remus bersuka cita setengah heran.

“Draco membuat aku lepas dari markasnya.”

“Draco yang melepasmu?” Alastor ragu. Draco mundur selangkah. Walaupun Alastor yang ini bukan Alastor yang men-Transfigurasi-nya menjadi musang dulu, tetap saja ada rasa segan.

“Aku ingin bertemu Potter,” katanya.

“Bagaimana kalau ini jebakan agar kau bisa membawa Harry pada Tuanmu?” cemooh Alastor.

“Aku percaya,” sahut Remus.

Alastor melotot pada Remus. Tapi kemudian, “Baiklah. Tanggungjawabmu,” katanya pendek.

Draco mengeluarkan dua buah tongkat, yang satu diangsurkan pada Hermione. “Aku menemukan ini di tempat Amycus,” katanya.

“Terima kasih,” Hermione menyambut tongkatnya,.

Draco melempar tongkat satunya, tongkatnya sendiri, ke arah Alastor. Tanpa berkata apa-apa Alastor memandang Remus, yang mengangguk. Keempatnya kemudian menuju Hogwarts.

Draco ditempatkan di sebuah kelas kosong, dikunci khusus oleh Alastor, sedang Hermione dibawa ke Hospital Wing oleh Remus.


Tidak lama Draco menunggu, Harry masuk.

“Malfoy,” suara Harry dingin, “apa yang kau inginkan?”

Draco tidak berkata apa-apa, tapi memberikan secarik kecil perkamen kosong pada Harry.

“Kata kuncinya adalah nama animagus ayahmu, Potter,” sahutnya kemudian.

Harry menerima perkamen itu sambil matanya terus menatap menyelidik pada Draco. Tapi Draco tidak bereaksi.

“Prongs,” Harry mengucap, mengetuk perkamen itu dengan tongkat.

Muncullah garis-garis yang kemudian membentuk tulisan. Begitu Harry selesai membacanya tulisan itu langsung hilang.

“Lokasi Horcrux?” Harry tak percaya.

Draco mengangguk, “Severus memintaku memberitahumu.”

“Jadi … selama ini … kukira Remus yang ..” Harry menatap tajam.

“Severus yang mengirimi lokasi-lokasi yang lalu. Dan, ya, memang benar Remus yang menerima kabar itu dan meneruskan padamu.”

“Pantas ia selalu mengelak kalau aku berterimakasih padanya. Ia selalu mengatakan bahwa informasi ini bersumber dari orang lain…” Harry menurunkan nada suaranya. “Lalu, mengapa kau?”

“Severus mengatakan, ia sudah bisa melepaskan mantra Mum, dan akan mengirim Mum ke dalam perlindungan Orde…”

“Ya. Remus berkata kemarin, Orde harus melindungi seseorang yang lepas dari Death Eaters. Aku tak tahu itu ibumu..”

Draco mengangguk. “Aku akan melakukan apa saja agar Mum tetap berada dalam perlindungan Orde, sampai … sampai ini selesai.”

Harry menghela napas. “Tapi aku harus mengujimu terlebih dahulu, agar yang lain percaya.”

“Kerjakan apa yang kau suka.”

“Aku akan masuk ke dalam pikiranmu, melihat apa yang sebenarnya terjadi.”

“Aku siap.”

Draco menutup mata. Harry mengacungkan tongkatnya dan merapal, “Legilimens!”

Harry terlontar ke dalam pikiran Draco. Lucius baru saja tiba dari pelariannya, di depan Voldemort. Voldemort marah besar pada Lucius, meng-Avada Kedavra-nya tepat di depan Draco … Narcissa menghiba-hiba di depan Draco agar mau menjalankan tugasnya agar nyawa mereka selamat … Draco dihukum Voldemort, Crucio … Snape mengatakan akan berusaha mencari cara membebaskan Narcissa … Draco lagi-lagi di-Crucio … Snape mengatakan Remus sudah setuju untuk membantu … Snape mengatakan kalau Narcissa sudah lepas dan sekarang dalam perlindungan Orde ..

Draco tiba-tiba sadar, Harry akan masuk ke dalam keping memori yang ia tidak ingin ada orang lain yang tahu. Tidak.

Tidak.

Jangan. Jangan masuk ke situ.

Draco menjadi serba salah. Ia bisa saja bertindak, memblokir akses agar Harry tidak bisa masuk, tetapi tindakan seperti itu berarti dia menyembunyikan sesuatu. Dan itu bisa fatal. Berarti dia tidak bisa dipercaya.

Kecuali kalau Harry dengan sukarela meninggalkan pikirannya.

Dengan setengah hati ia membiarkan Harry masuk ke bagian ini.

Harry merasa sulit untuk masuk ke bagian ini. Tapi dia harus masuk. Dia harus tahu ada apa di sana. Untuk mengetahui apakah Draco layak dipercaya atau tidak.

Dan dia masuk.

Draco tiba-tiba menerkam Hermione dengan ganas, membuat Hermione terbanting terbaring, dihimpit Draco yang langsung membuatnya tidak bisa berteriak. Mulut Draco mencari mulut Hermione dengan kasar. Kedua tangan Hermione dipiting Draco, bahkan kaki Hermione juga hanya bisa bergerak-gerak sedikit, meronta-ronta putus asa.

Lidah Draco mulai terasa berusaha membuka mulut Hermione, berputar mendorong. Hermione berusaha sekuat tenaga menghindar, tetapi Draco lebih kuat. Lidah Draco menerobos masuk dengan liar, mencari-cari lidah Hermione, menangkapnya dan menghisapnya dengan ganas.

Hermione tiba-tiba merasa putus asa. Dua butiran berguliran dari kedua matanya. Apakah ia akan berakhir di sini, diperk …

Sama tiba-tibanya seperti saat Draco menyerangnya, tiba-tiba saja Draco menghentikan serangannya, melepasnya, berdiri jauh-jauh darinya, dan berucap lirih, “Maafkan .. maafkan ..”

Hermione tersengal-sengal, berusaha duduk dengan agak limbung, shock karena serangan tiba-tiba, dan shock atas perubahan sikap Draco yang tak terduga.

Draco masih mengulang kata-katanya, “Maafkan aku .. Tapi aku harus, agar terlihat ..” dia menghela napas panjang, berusaha mengatur napas, “Itu tadi Mata.”

Mata?” Hermione biasanya cerdas, tapi dalam keadaan sekarang dia sama bingungnya dengan anak terbodoh.

Ya. Mata.” Draco menghembuskan napas, “Dark Lord memiliki cara untuk mengontrol anak buahnya. Di markas ini Dia mempunyai mantra untuk melihat berkeliling jarak jauh …”

Harry tiba-tiba menghentikan Legilimens-nya.

Didapatinya Draco dalam posisi berlutut, terengah-engah. Mandi keringat. Dan wajahnya yang pucat bertambah pucat.

“Maafkan aku, .. aku seharusnya tidak melangkah sebegitu jauh ..” sesal Harry. Dengan satu jentikan jari muncul sehelai handuk, diberikan pada Draco.

Draco mengelap keringatnya. Nampak gerakan tangannya juga gemetar.

“Please … jangan katakan pada Miss Granger, bahwa kau sudah melihat ..” Draco tidak meneruskan ucapannya. Ada getaran dalam suaranya. Bukan disebabkan oleh tubuhnya yang gemetar tadi.

“Aku berjanji,” Harry membantu Draco duduk kembali. Ia juga duduk di depannya. “Aku percaya padamu.”

Draco menutup mata dan menarik napas panjang, “Terima kasih.”

“Jika Horcrux itu sudah aku hancurkan, bagaimana aku bisa memberitahumu?”

“Seperti cara Remus memberitahu Severus. Pasang iklan di Daily Prophet bagian Obituari. Dengan kata-kata yang tak akan dikira orang.”

“Hm. ‘Telah berpulang anggota terakhir klub Quidditch Snitch Seeker’?”

Draco tersenyum tipis. “Seperti itulah. Kalau kau sudah menghancurkannya, Severus akan membereskan Nagini.”

“Dan bagaimana kau akan memberitahuku bahwa Perang Besar akhirnya siap?” Harry mengetuk-ngetukkan jarinya ke ujung kursi. “Koin! Kau punya koin sihir, kan? Yang kau pakai untuk berkomunikasi dengan Rosmerta? Sinkronkan saja dengan punyaku!”

Draco merogoh sakunya, mengeluarkan sekumpulan koin, menyisihkan satu di antaranya. Demikian pula Harry. Lalu kedua koin itu disandingkan, keduanya membaca mantra, dan angka-angka pada koin itu berpendar kemerahan, panas jika dipegang.

“Kalau Nagini sudah dimusnahkan, angka ini akan aku ubah menjadi 0 semuanya,” sahut Draco.

“OK.”

Keduanya berdiri dan berjabat tangan.

“Aku harus segera kembali. Kalau tidak, mereka mungkin akan curiga.”

Harry mengangguk. Dibukanya pintu, dan di luar di sebuah meja, tongkat dan jubah Draco tersimpan dengan rapi. Draco mengenakan jubahnya, menyelipkan tongkatnya di kantong jubahnya.

“Draco,” Harry menahan langkahnya, “aku tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi. Tetapi kalau kita berdua bisa melewati Perang Besar hidup-hidup,” Harry bersungguh-sungguh, “maukah kau adu cepat denganku, dengan Sapu?”

Senyum muncul di wajah Draco, “Snitch Racer?”

Keduanya tertawa. Draco melangkah dengan ringan.


Tadinya Draco akan langsung keluar dari Hogwarts, langsung menuju Apparation Point. Tapi masih ada rasa penasaran. Ia berbelok ke Hospital Wing.

Tanpa suara ia membuka pintu, dan mendapati Weasley sedang memeluk Hermione yang terduduk di atas ranjang. Mereka tidak melihat Draco, yang kemudian mundur selangkah agar tersembunyi di balik tirai.

Weasley muda itu seperti sedang menghibur Hermione. Menenangkannya.

“Madam Pomfrey sudah memeriksamu, Hermione. Dan katanya kau hanya butuh istirahat. Kau hanya shock, itu saja.”

Sepi. Draco sampai harus berhati-hati bernapas. Baru kemudian ia mendengar Weasley itu lagi, hati-hati nampaknya.

“Dia juga bilang, tidak ada bekas-bekas .. perkosaan, atau perlakuan yang menjurus ke sana …”

“Aku percaya Draco,” sahut Hermione lirih.

“Ya .. sebenarnya, pada umumnya aku tidak mempercayai Malfoy. Tapi .. dalam kasus ini .. aku bersyukur.”

Tidak ada suara lagi. Mereka pasti masih berpelukan. Mungkin Weasley muda itu sedang berusaha agar Hermione tidur.

Draco mundur dan keluar dari Hospital Wing tanpa suara.

Entah kenapa, ada rasa pedih menyelusup di dada.

Draco merapatkan jubahnya, mempercepat langkahnya, berusaha melupakan rasa pedih itu.

Dia sampai ke Apparation Point.

DisApparate!

FIN

THE UNFORGOTTEN

Pansy tak pernah merasakan hal ini seumur hidupnya ketika dia melihat Harry mencium Ginny. Namun Pansy tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak bisa mengoyak batasan antara Slytherin dan Gryffindor. Batasan antara pureblood dan halfblood. Memang kenyataannya dimasa yang lalu Pansy termasuk kedalam orang yang mengakui adanya keharusan pemisahan antara pureblood dan halfblood/mudblood. Tapi ternyata hal itu berbalik menikamnya, dia hanya bisa berdiri merasakan sakit yang tersisa.

Pansy tak akan pernah mengatakan hal yang sebenarnya. Darah Slytherin-nya memaksa untuk selalu menjaga sikapnya, tidak boleh memperlihatkan kelemahannya kepada musuhnya. Tapi Pansy hanya gadis belasan tahun biasa yang juga merasakan cinta, bukan seekor ular berbisa yang hanya bisa merusak.

Namun sekarang dia hanya bisa mundur dan berbalik arah, tidak mungkin untuk meraih apa yang berada di pikirannya sekarang, dia tidak yakin. Bahkan dia tidak yakin bahwa Harry Potter mengingat semuanya. Pansy bukan seperti yang dikatakan banyak murid Hogwarts, Slytherin bitch. Benar memang dia selalu bergonta-ganti pasangan, namun bukan untuk mengajak mereka tidur. Pansy masih bersih. Tapi sekarang dia merasa sangat kotor, ketika lelaki yang diharapkannya tidak mengingat semua kejadian itu.

Satu kejadian yang membuat penilaian Pansy akan Harry berubah total, hanya satu malam. Satu malam ketika tim Quidditch Hogwarts memenangkan tantangan yang diberikan oleh tim Quidditch Irlandia dalam rangka pertandingan persahabatan. Dalam pertandingan itu Harry dan Draco menjadi rekan satu tim, untuk membela Hogwarts tentunya. Satu kejadian lain yang sungguh tidak bisa ditemui lagi kapan pun. Harry dan Draco menjadi mitra. Kau bisa membunuh dirimu untuk diberikan kepada setan untuk melihatnya lagi.

Dan mereka menang. Lalu mereka berpesta.

Ravenclaw, Hufflepuff, Slytherin dan Gryffindor semua tumpah ruah dalam kemeriahan euphoria mereka. Tidak ada hadiah. Hadiah mereka hanyalah status bahwa murid Hogwarts dapat mengalahkan tim dari negara lain, tim yang pernah mengikuti Piala Dunia Quidditch. Maka Pansy pun tak bisa menolak untuk merayakan pesta. Pesta adalah sebagian dari dirinya. Maka dia bergabung dengan para Slytherin untuk merayakan ini, karena Draco juga termasuk salah satu yang memenangkan pertandingan. Draco kaptennya. Awalnya Pansy dan teman wanita se asramanya mengolok-olok bagaimana seorang Harry Potter tidak dapat mengalahkan Draco untuk menjadi kapten kali ini. Dan mereka tertawa mengikik akan gurauan mereka. Slytherin deserves to get that pride.

Dan Slytherin tidak akan pernah kehilangan cara untuk menyelundupkan Firewhisky. Mengkonsumsinya di salah satu ruang kosong. Hanya ada Slytherin dan tim quidditch yang tersisa. Firewhisky, satu hal yang menjadi penyebab perubahan pada otak Pansy, meninggalkan bekas yang tak hanya semalam hilang. Kesalahan fatal pertama adalah ketika Draco memberikan satu gelas Firewhisky kepada Harry Potter. Draco melirik Pansy, mereka memang merencanakan menipu Harry yang lugu itu dengan Firewhisky. Mereka bertaruh jika Harry tidak akan pernah tahu bagaimana bentuk dan rasa Firewhisky, dan benar, Harry menghabiskannya dalam satu kali teguk. Lalu Pansy mendekat, memberikan gelas kedua, Harry yang setengah tidak sadar akibat meminum FIrewhisky langsung dengan santainya menghabiskan yang kedua. Pansy dan Draco hanya terkekeh dalam kebisuan. Mereka menang.

Dan ketika itu, Harry menarik lengan Pansy dan mencium bibirnya penuh-penuh. Mata Pansy terbelalak kaget, mendorong Harry menjauh. Dia mengusap bibirnya yang berasa Firewhisky itu, hangat. Tak ada respon dari sekitarnya, bahkan anehnya tak ada yang melihat apa yang dilakukan Harry padanya. Padahal Pansy sedikit berharap mereka menangkap basah perlakuan Harry barusan. Tapi, alas, bahkan Draco menghilang entah kemana. Kelas kosong hanya menyisakan beberapa orang dan semuanya mabuk.

Harry mendekati tubuh Pansy. Reflek Pansy menjauh, tapi kemampuan seeker memang tidak bisa diremehkan, tangan Harry menangkap lagi lengan Pansy. Kali ini menariknya pelan kearah tubuhnya. Wajah Pansy berada tak jauh dari wajah Harry, hanya beberapa sentimeter, bahkan ujung hidung mereka saling bertabrakan. Harry mendesis, "Kau cantik."

Bau firewhisky berhembus dari mulut Harry. Hanya bau firewhisky. Cukup mengherankan bahwa Harry memiliki nafas yang segar, tak seperti beberapa teman lelakinya yang terkadang ada yang bau. Dan perkataannya, orang bilang jika ada yang mabuk karena Firewhisky yakinlah bahwa yang dikatakan olehnya adalah kejujuran. Apakah Harry mengatakan yang sebenarnya? Pansy bimbang. Didalam dadanya bergerak perasaan aneh. Berputar, semakin cepat ketika bibir Harry mendarat di balik cuping kupingnya. Pansy tak dapat menahan suaranya yang bergetar ketika membalas, "Kau juga seeker yang hebat." Berkati Pansy nantinya, mengatakan hal yang tak pernah akan terucap. Bagaikan orang yang dimabukkan oleh Firewhisky, inikah rasanya?

Tangan Harry mengunci tubuh Pansy dalam pelukannya. Pansy tak bisa berkutik, posisinya begitu aneh dengan gelas di tangannya. Tapi mengapa begitu nyaman? Maka Pansy melepaskan keraguan dalam dirinya, mengikuti irama yang dibuat oleh pria yang membekapnya erat. Mereka merapat ke sisi kelas yang sepi, merepet Pansy melawan dinding. Tangan Harry mengambil alih gelas yang dipegang Pansy, meletakkannya ke atas dinding yang dibuat mencuat dari yang lain. Menatap Pansy seperti dia tidak pernah meminum Firewhisky. Tatapan teraneh namun menenangkan yang tak pernah dilihat Pansy. Bagaimanapun darah Slytherin yang mengalir di tubuh Pansy, jika dihadapkan oleh momen yang seperti ini, demi Merlin.. Pansy akan menyerah.

Jemari Harry menelusuri rahang Pansy, menelungkupkan tangannya di pipinya lalu menciumnya perlahan; lembut tapi bergairah dan ada arti lain disana. Pansy mendaratkan tangannya di bahu Harry, perlahan menyusuri rambut berantakan milik Harry. Mereka saling terpaut, saling lebur dalam satu hal tanpa mereka sadari betapa mereka sebenarnya saling membutuhkan. Karma mendatangi tiap orang tanpa pandang bulu. Setiap orang pasti akan menerima karma atas apa yang mereka lakukan dan ucapkan.

Dan malam itu Pansy menerima karma terindah.

Pansy mengibas-kibaskan kepalanya pelan. Berusaha melupakan malamnya, dan menikmati karmanya yang lain. Dia terlambat mengucap cinta kepada Harry. Tiga pagi sesudahnya, ketika Pansy berharap Harry datang kepadanya, namun dia mendapati hal yang sebaliknya. Harry mengumumkan siapa perempuan beruntung yang mendapatkan untaian kata 'I love you' darinya. Tapi Pansy tak akan menganggap dia kalah dari seorang Ginny Weasley. Karena Pansy pernah mendapatkan keindahan didalam harinya yang mungkin tak akan pernah seorang Ginny Weasley rasakan.

Pasti.

HADIAH PANSY

Aku tak pernah mengerti, kenapa harus berdiri menunggunya sekali lagi di tempat yang sama sekali bukan tempat yang nyaman untuk menunggu. Pansy Parkinson tak pernah menunggu seorang lelaki, mereka yang biasa lakukan untuknya. Tapi, demi Merlin, sekarang dunia jungkir balik.

Berdiri kedinginan sendiri, demi menunggu si cowok laknat satu itu yang baru saja merapal mantra Patronus dan mengatakan untuk menunggu, karena dia sedang mencari kacamata. Lalu untuk apa mantra accio diciptakan, tolol? Mengirim patronus padaku alih-alih menggunakannya untuk meng-accio kacamatanya sungguh sangat membuang waktu. Alasan paling aneh dan menggelikan bagiku untuk menerimanya, tapi bahkan aku tak membalas protes balik.

Ampun dah, cinta itu membuat kita bodoh, benar? Cinta membuatku bodoh untuk mencintai lelaki yang sama sekali tidak pernah aku duga, lelaki yang sangat menyebalkan. Musuh besar, kata Draco.

Akan aku ceritakan siapa cowok ini. Dia... aku bertaruh kalian akan langsung mengetahuinya,anak yang bertahan hidup. Uh-huh pintar. Harry Potter, that bloody bloke! Haish...aku hanya mengatakan kata 'anak yang bertahan hidup' dan kalian bisa menebaknya seketika. Aku harus bahagia atau bagaimana, berstatus kekasih seorang yang begitu terkenal. Mungkin lebih baik dikasihani saja.

Tertawalah, karena Pansy Parkinson memang pantas ditertawai.

Uh yeah, aku sedang jatuh cinta pada 'anak yang bertahan hidup dengan segala kesempurnaan'. Aku, yang kalian tahu, 'anak yang bertahan hidup dengan selalu mencemooh anak yang bertahan hidup sewaktu sekolah dulu'. Bernapas.

Aku hanya bisa membodohi diri sendiri. Yeah, cinta begitu bodoh dan..... menyenangkan? Membahagiakan? Mengasyikkan? Apapun lah. Aku tak peduli dengan semua istilah itu, yang pasti aku sedang berada dalam kejengkelan yang luar biasa. Beritahu aku jika kau melihat batang hidung Harry, aku akan bersiap memantrainya.

Ooh.. Lihat itu dia dan berjalan memunggungiku. Mau apa sih dia?

''Apa kau ingin aku menendang bokong kebanggaanmu atau lebih suka jika kumantrai?''

''Nah, kau tak akan pernah mendapatkan hadiahmu,'' jawabnya dengan nada menantang. Aku tak bisa membalas. Ini—kuberitahu—adalah reaksi teraneh yang pernah aku rasakan. Terdiam oleh setiap kata ancaman atau tantangan dari Harry Potter bukan gayaku.

''Menyerah kalau begitu?'' ujarnya penuh kemenangan. Lalu dia berbalik menghadapku, tangannya menutup satu sama lain, seperti menyembunyikan barang yang ukurannya kecil. ''Ini hadiahmu, tapi kau harus tutup matamu.'' Mataku yang sedari tadi menatap tangan Harry beralih ke mata hijaunya, menatapnya dingin.

''Beritahu aku dulu apa yang kau bawa,'' kataku.

Mimik muka Harry berubah gelap, ''Kau tak seru, Pans,'' ujarnya, kecewa. Mundur selangkah. Hatiku mendadak jumpalitan, tapi aku bersikeras.

''Aku tak mau dibodohi dengan lelucon garing. Aku sudah kesal karena terlalu lama menunggu.''

''Hm.. Kalau begitu aku pergi saja. Kehadiranku ternyata membuatmu kesal.'' Dia mundur lagi.

''Pergilah kalau begitu, siapa juga yang membuat janji awalnya, eh?'' sekarang aku benar-benar kesal. Mengasihani diriku sendiri yang mencintai orang yang salah. Tidak seharusnya aku mencoba untuk mencintainya, hal yang sama sekali tak mungkin. Benar kata Draco, jangan mencoba mencintai musuhmu sendiri. Tapi aku sudah terlanjur, dan menutupi hubungan ini dari orangtua, sahabat dan bahkan sebisa mungkin tidak diendus oleh para pelahap gossip, agar tidak mencemari nama baik Harry.

Seorang Harry berpacaran dengan Pansy Parkinson—sahabat ex Pelahap Maut. Persetan semuanya, aku hanya ingin menangis. Toh, aku wanita normal. Lebih baik aku pergi saja. Aku tak mau menunjukkan kelemahanku didepan Harry.

Tiba-tiba dia memelukku dari belakang, tangannya yang tadi tertelungkup kini memeluk bahuku. Kepelanya berada diatas bahuku. ''Maaf,'' katanya. Nadanya sungguh-sungguh meminta maaf. Aku melunak. Sungguh, suaranya saja membuatku tak berdaya. Brengsek.

Lalu seuntai kalung berbandul bunga pansy melingkar si leherku. Harry membalikku dengan cepat dan mencium bibirku penuh-penuh. Aku bersumpah, ini adalah ciuman pertamaku. Maksudnya dengan Harry.

''Selamat ulangtahun, Pans.'' ujarnya setelah menciumku. Aku bisa merasakan mukaku merah seketika. Oh Merlin, aku hanya bisa menunduk dan berpura-pura melihat kalung pemberiannya dan tertawa ketika melihat modelnya sama sekali norak.

“Apa?” tanyanya tersinggung.

“Kau punya style yang buruk, Harry. Tak heran,” jawabku, menatapnya lucu. Dia hanya menyeringai kesal dan menggumam ‘padahal aku sudah mencari berjam-jam dan itu satu-satunya kalung berbandul bunga pansy yang aku temukan’.

“Kalung berbandul pansy sudah pasaran, Harry.” Aku menjelaskan. Mungkin saja dia benar-benar kehilangan kacamatanya, atau sibuk dengan pekerjaan aurornya sehingga begitu kehilangan waktu untuk mencari hadiah untukku. Tapi aku sama sekali tak mempermasalahkannya, ngomong-ngomong.

“Buang saja kalau kau tak suka.”

“Uh.. aku tak mempermasalahkannya Harry, karena…” aku mendekat, melingkarkan tanganku di lehernya. Ujung hidung kami bertemu. “Aku mendapat hadiah yang paling aku inginkan selama ini.”

Dia sumringah, aku pun begitu dan kami tertawa bersama.

“Uhm, Pans,” dia menggaruk samping hidungnya, “Aku berencana membuat hubungan kita ini resmi. Aku.. aku hanya ingin memberi tahu kepada semuanya, tidak ada diskriminasi. Aku hanya menginginkan sesuatu yang normal, tidak seperti kemarin. Bersembunyi.” Ujarnya.

Aku menatapnya penuh arti. Tak ada yang bisa aku katakan lagi. Cukuplah ciuman darinya. Tapi dia benar juga, persetan dengan semua orang pikirkan. Aku wanita, dia pria dan kami saling mencintai. Apa itu salah?

“Oke.” Hanya itu yang bisa aku katakan. Harry memelukku erat, dan kami berciuman sekali lagi. Ciuman kedua, teknisnya. Di malam ulangtahun Pansy Parkinson yang penuh ketidak sempurnaan ini, aku telah mendapat empat hadiah sekaligus.

BALAS DENDAM DRACO

“Oooiii! Dracooooooooooooooo!!!”

Draco Malfoy, Ketua Murid laki-laki Sekolah Sihir Hogwarts, meringis kesal mendengar namanya diteriakkan hingga menggema di sepanjang lorong kastil Hogwarts. Seluruh siswa yang ada disitu menengok ke arahnya.

Sang Pangeran Slytherin memperbaiki posisi tasnya sebelum mempercepat langkahnya pergi menjauh. Ada kelas yang harus ia hadiri dan ia malas menghadapi siapapun yang berani memanggilnya. Terlebih karena ia tahu siapa yang bertanggung jawab meneriakkan namanya dengan tidak sopan. Apa salahnya berjalan sedikit lebih dekat sebelum memanggilnya? Ya, alasan yang tidak cukup kuat juga, karena sejak awal Draco tak sudi berada dalam radius dua meter dari si pemanggil, apalagi menghirup udara yang sama dengan dia.

“Ooi, Draco! Tunggu sebentar!” Draco memutar matanya dan mendesah putus asa. Nampaknya tulang kepala merah Ron Weasley terlalu tebal sehingga otaknya gagal mengenali gestur yang ditunjukkan Draco bahwa ia sedang tak ingin diganggu. Sang Ketua Murid laki-laki memutar tubuhnya dan memasang alis berkerut, mengeluarkan pesan jelas bahwa ia juga tidak suka dipanggil dengan cara itu, memangnya ia Troll?

Ron Weasley berlari-lari kecil menuju ke arah Draco, tubuhnya yang tinggi tampak menonjol di antara siswa-siswa Hogwarts yang lain. Ia menyingkirkan beberapa siswa yang menghalangi jalannya dan menghampiri sang Ketua Murid laki-laki.

Draco menggerutu kesal tanpa suara, diusapnya rambutnya dengan frustrasi sebelum memaksakan diri menyapa balik dengan ramah; “Mau apa kau?”

“Aa… aku sedang mencari Hermione, apa kau tahu dia dimana?”

“Tak tahu!”

“Yaaah… kenapa tidak tahu? Kalian kan sama-sama Ketua Murid?”

Draco mendengus kesal sebelum mengeluarkan jawaban. “Dengar, meski kami sama-sama Ketua Murid, bukan berarti aku HARUS tahu semua hal mengenai dia atau apa yang dia lakukan, itu bukan urusanku, jelas?!”

“Ya sudah kalau begitu…” Ron menelengkan kepalanya sedikit, “baiklah, aku mau mencari dia di Rumah Kaca, see you!” Dan bersamaan dengan itu Ron berlari-lari menuju kompleks Rumah Kaca.

Meninggalkan Draco yang berdiri di tempat sambil menahan amarahnya. Beberapa anak Ravenclaw menatap sang Ketua Murid laki-laki, dan sebagai gantinya mereka mendapat tatapan balik yang jelas mengisyaratkan apa-lihat-lihat-mau-potongan-poin dari Draco.

Sang Pangeran Slytherin tidak berkata apa-apa lagi dan langsung berlalu menuju ruang kelas Arithmancy Tingkat Lanjut-nya.


Well, Mister Malfoy, meski ini diluar kebiasaanmu, tapi aku tentunya tak bisa memberimu keringanan hanya karena kau Ketua Murid. Dan di awal semester kita semua sudah sepakat bahwa setiap keterlambatan satu menit akan dibayar dengan sepuluh kali lipatnya untuk detensi.” Sapaan Professor Peregrin Panamera, pengajar Arithmancy bagaikan petir di telinga Draco.

Sebelum sang Ketua Murid sempat berargumen, Professor Panamera sudah melanjutkan, “Kau terlambat enam menit, itu berarti hukumanmu adalah detensi enam puluh menit, kau bisa membantuku menerjemahkan transkrip Arithmancy dari bahasa Celtic ke Bahasa Inggris besok malam pukul delapan. Nah, selanjutnya kalian semua silakan buka buku Pengantar Teori Arithmancy halaman 381, kita akan mulai dengan hitungan chart tingkat kompleksitas tiga.”

Draco tak bisa berkonsentrasi sepanjang pelajaran. Kepalanya panas karena marah. Enam puluh menit detensi! Dan harus diisi dengan menerjemahkan transkrip dari bahasa dewa zaman dahulu! Memangnya dia tak ada kerjaan lain? Arithmancy bukan pelajaran yang disukai Draco, ia mengambilnya hanya karena ini adalah salah satu kelas yang membuat dirinya tak perlu sekelas dengan anak-anak berkepala kosong. Meski ia lebih menyukai keadaan saat masih diajar oleh Professor Spectra Vector yang baru saja pensiun tahun lalu.

Hanya sedikit yang sanggup mengambil kelas Arithmancy. Apalagi Arithmancy Tingkat Lanjut Kelas Tujuh. Bahkan kelasnya hanya berisikan lima orang. Draco adalah satu-satunya anak Slytherin kelas tujuh yang mengambilnya. Sementara sisanya didominasi oleh tiga anak Ravenclaw, tak ada seorangpun dari Hufflepuff yang memiliki otak memadai untuk kelas ini. Dan masih ada satu lagi anak Gryffindor, jelas hanya dia yang memang berkapabilitas dari seluruh makhluk penghuni Asrama itu yang memang rata-rata berotot daripada berotak.

Dan yang makin membakar emosi Draco adalah, satu-satunya anak Gryffindor yang ada di kelas itu adalah alasan mengapa ia mendapat detensi. Draco melirik sebal pada gadis berambut coklat berombak yang duduk di kursi paling depan. Hermione Granger. Ketua Murid perempuan Sekolah Sihir Hogwarts tahun ini, Nona Tahu-Segala, sahabat dari Santo Potter, bagian dari Trio Gryffindor, Anak Emas para Guru, dan silakan pikir sebutan lainnya. Draco bersungut-sungut dengan suara rendah.

Si rambut merah sial itu sebaiknya mengetahui kelas-kelas apa saja yang diambil oleh sahabat-nya. Jika memang dia pantas disebut sahabat.

Setidaknya Draco memiliki dua alasan kuat kenapa ia tidak menjawab pertanyaan Ron Weasley meski ia tahu jawabannya. Satu, apapun urusannya, Ron tidak akan bisa menyelesaikannya dengan Hermione sesegera mungkin, karena setelah masuk ruang kelas Arithmancy, maka mereka akan terisolasi dari dunia luar hingga pelajaran berakhir. Professor Panamera adalah salah satu staf pengajar Hogwarts yang paling displin. Ron akan diharuskan untuk menunggu pelajaran selesai. Karena itu Draco berpikir akan sia-sia saja jika memberi tahu si rambut merah itu mengenai Hermione di kelas Arithmancy.

Alasan kedua adalah; Draco memang malas memberitahu.

Tak ada untungnya sama sekali. Ron Weasley tak akan menghitungnya sebagai suatu jasa yang kelak perlu dibalas. Dan Draco sangat kesal dengan cara Ron memanggilnya tadi. Tak seorangpun berani memanggil dirinya, - Ketua Murid Hogwarts- dengan cara sebrutal Ron Weasley. Nampaknya memang sudah keturunan. Jika dipikir-pikir, tak seorangpun dari klan rambut merah itu yang cukup memenuhi standar Draco dalam urusan sopan santun atau tata krama, tidak yang perempuan sekalipun, sepertinya mereka tidak mendapatkan didikan yang cukup berkelas dari…

“Mister Malfoy! Kita sudah maju ke halaman 387, please, sebelum ada poin yang harus terpotong dari Slytherin!” suara Professor Panamera terdengar begitu keras menyentak Draco. Dengan gelagapan Draco membalik-balik bukunya yang masih terbuka di halaman 382. Ia tertangkap basah tidak menyimak pelajaran, dan hari ini tidak bisa lebih buruk lagi.


Para siswa memenuhi Aula Besar untuk minum teh sore. Poci-poci teh, susu, set cangkir foley, dan beberapa makanan pendamping minum teh seperti scone, sandwich, dan pai mini sudah terhidang di keempat meja panjang Aula Besar. Meski begitu, nampaknya wangi teh susu dan sajian sore itu sama sekali tidak menggugah selera Draco.

Sang Ketua Murid laki-laki hanya diam tepekur di sudut meja Slytherin. Kedua tangannya bersilangan di depan dada. Wajahnya bertekuk. Ia nampak berpikir keras. Teman-teman Slytherinnya sudah tahu bahwa opsi terbaik menghadapi Draco yang sedang kesal adalah dengan tidak mengajaknya bicara sama sekali. Karena itu sudut tempat Draco duduk sama sekali steril dari siswa yang hendak minum teh sore.

‘Keterlaluan!’ batin Draco. ‘Ini semua gara-gara si rambut merah sial itu!’ pikiran Draco kembali melayang pada kejadian beberapa jam sebelumnya. Hanya gara-gara hal yang tidak penting, dirinya terkena detensi satu jam penuh esok malam, padahal besok hari Jumat dan ia sudah berencana tidak tidur semalaman karena Blaise Zabini hendak mengadakan pesta di Kamar Kebutuhan. Ditambah lagi, Draco harus menerima bentakan dari Professor Panamera yang membuatnya nyaris kehilangan poin Asrama.

Dan pada akhirnya Draco sampai pada satu kesimpulan. Ron sudah mempermalukan dirinya. Meski si rambut merah itu pada dasarnya tidak bermaksud begitu, tetap saja ia harus dihentikan. Ron Weasley harus membayar untuk itu. Draco hampir bisa membayangkan dirinya menjatuhkan Ron dari sapu terbang di atas menara tertinggi Hogwarts atau melemparnya ke Danau Hitam untuk dijadikan santapan malam cumi-cumi raksasa penghuninya. Tapi tidak. Draco tak akan berbuat seperti itu seberapapun sebalnya dia pada Ron. Draco juga punya level. Ia tak mau berbuat sedangkal itu.

Ron pantas untuk lebih menderita lagi.

--

‘Aku mencari Hermione… kau tahu dia dimana?’ Suara Ron kembali terngiang-ngiang di telinga Draco. Membuatnya semakin gila. Draco menggelengkan kepalanya, mencoba menghilangkan pikiran tentang Ron dari otaknya. Saat Draco mengangkat wajahnya, sudut matanya menangkap sesuatu.

Sekelebat gerakan seorang gadis berambut cokelat berombak masuk ke dalam jarak pandang Draco. Gadis itu berjalan menuju meja Gryffindor dengan gerakan ringan dan dagu yang terangkat tinggi penuh kebanggaan. Entah kenapa Draco muak melihatnya.

Dan rasa muak itu langsung tergantikan seketika dengan ide brilian yang membuat Draco menyunggingkan senyum culasnya yang terkenal. “Hermione… heh?” desisnya.

Draco bangkit berdiri dan menghampiri Hermione dengan langkah jumawa, sebelum memanggil Hermione dengan sebutan yang sebenarnya sudah lama tidak ia gunakan.

“Oi, Darah-Lumpur!”

Hermione mendelik marah seketika kepada Draco. Semua orang tahu ia sangat benci dengan panggilan itu, dan tidak ada yang berani memanggilnya dengan nama itu, kecuali orang sedang mencari mati tentunya. Hermione berhenti berjalan dan berdiri tegak dengan posisi menantang tepat di hadapan Draco.

“Apa?!”

“Boleh aku menciummu?” Draco menelan ludah begitu kata-kata itu selesai meluncur dari mulutnya. Belum pernah, bahkan dalam imajinasinya yang paling liar sekalipun, terpikir bahwa ia akan mengeluarkan kata-kata mengerikan itu pada seorang Gryffindor Kelahiran-Muggle. Wajah Hermione nampak kebingungan. Salah satu alisnya terangkat.

Pardon? Apa aku sedang berbicara dengan Draco Malfoy?”

“Kau tahu… Ron siang ini membuatku marah, jadi aku mau membuat dia…”

“Jawabnya, TIDAK!!” seru Hermione lantang. Wajah bingungnya kini sudah berganti menjadi wajah murka. Draco mengutuk dalam hati.

Rencana awalnya adalah untuk memperlihatkan kepada Ron pemandangan saat dirinya dan Hermione berciuman. Semua orang tahu bahwa Ron menyukai Hermione, dan jika ia melihat adegan itu, tentunya akan menghancurkan Ron dengan dahsyat. Draco terlambat menyadari bahwa rencana itu sesungguhnya… sama sekali bukan hal yang wajar untuk terlintas dalam pikiran seorang Draco Malfoy. Bahkan mungkin bisa dibilang mustahil. Dan Hermione terlalu mengenal baik Draco untuk ikut menyadarinya dalam sekejap.

--

Emosi yang memuncak langsung memenuhi kepala Draco. “Yah, sepertinya kau benar, Darah-Lumpur. Aku sendiri tak tahu apa yang ada di pikiranku barusan, kau tahu, mencium seorang Kelahiran-Muggle sepertimu adalah hal yang rendah, menyedihkan, dan akan sangat mencoreng nama keluarga Malfoy. Jujur saja, tadi aku bahkan sempat tak sadar bahwa mencium seorang Darah-Lumpur mungkin akan mengakibatkan infeksi karena tingkat higienitas para Muggle termasuk meragukan!”

Jelas terlihat di wajah Hermione bahwa ia terluka sangat dalam karena kata-kata Draco. Sang gadis berdiri terdiam di tempat. Pundaknya terlihat berguncang. Penyebabnya mungkin antara shock dan amarah yang menyala-nyala. Tapi sebelum Draco bisa menyadari akibat total dari ucapan kasarnya, telapak tangan Hermione sudah beradu dengan pipinya.

Draco memegangi pipinya yang terasa pedas. Nampak sedikitnya Hermione sudah melakukan sihir-pengubah-wajah-tanpa-sihir pada wajah Draco dengan sukses. Mereka kini sudah menjadi pusat perhatian seisi Aula Besar.

“Draco Malfoy! Beraninya kau…” Hermione tidak menjerit kali ini. Tapi suaranya terdengar bergetar berbahaya, berbisik penuh kebencian, “Darah-Lumpur kotor, hanya segitukah nilaiku dimatamu? Baiklah… mari kita lihat apa yang akan dikatakan seisi sekolah tentang dirimu setelah kuberi tahu mereka mengenai kata-katamu barusan…”

Draco dan Hermione saling memandang dengan tatapan siap membunuh. Draco harus mati-matian menahan urgensi untuk meraih leher Hermione dan mematahkannya di tempat. Si Darah-Lumpur ini hendak menghancurkan reputasinya, meruntuhkan harga dirinya dengan cara yang lebih mematikan dibandingkan apa yang sudah dilakukan oleh si rambut merah. Brengsek.

“Aku benci kau, Musang!”

“Aku lebih membencimu, Darah-Lumpur!”

“Hermioneeeeeeeee!!!!” Ron menerjang pintu masuk menuju Aula Besar hingga terbuka lebar. “Aku mencarimu sejak tadiiii!” serunya seolah-olah di antara dirinya dan Hermione di Aula Besar terbentang jarak sepanjang lapangan Quidditch. Di belakangnya tampak Harry Potter dan Ginny Weasley mengekor sambil bergandengan tangan.

Saat itu tubuh Draco bergerak tanpa menerima komando dari otaknya.

--

Setiap langkah Ron mendekat, Draco maju selangkah mendekati Hermione. Hingga tubuh kedua Ketua Murid kini benar-benar rapat.

Dengan gerakan cepat, Draco melingkarkan salah satu lengannya ke pinggang Hermione, dan tangannya yang satu lagi mengambil tempat di pipi Hermione yang empuk dan halus.

Detik berikutnya Draco mencium Hermione.

Hermione membeku seketika. Selintas Draco menyadari akibat fatal yang bisa ia terima dari kelakuannya. Hermione bisa menyerangnya dengan kutukan apapun yang pernah ada, belum lagi kemungkinan serangan Mantra-Muntah-Moluska dari Ron yang bisa berujung pada derita memuntahkan siput selama berjam-jam.

Namun Hermione perlahan melemaskan tubuhnya, ia menjadi lebih rileks, lebih santai, dan hal paling mengejutkan yang berikutnya terjadi adalah; ia mulai mencium balik Draco.

--

“Her… Hermione…”

Kedua Ketua Murid tidak mempedulikan ekspresi shock yang terpatri jelas di wajah Ron dan seisi Aula Besar, keduanya jelas lebih memilih untuk melanjutkan sesi adu mulut mereka. Sebelah tangan Hermione kini berada di bahu Draco, sementara tangan yang satunya lagi melingkari leher Sang Ketua Murid laki-laki, mengelus daerah sensitif di tengkuk Draco, membuatnya semakin bersemangat.

Otak Draco menjerit memberitahu si empunya tubuh untuk berhenti. Ia tengah mencium seorang Hermione Granger! Seorang Gryffindor, terlebih lagi ia seorang Kelahiran-Muggle. Demi celana Merlin, Draco Malfoy kini sedang menggali kubur sendiri!

Tetapi Draco tak peduli. Begitu bibirnya menyentuh bibir Hermione, ia mencicipi manisnya gairah yang membuncah, menikmati sensasi yang sama sekali belum pernah ia rasakan sebelumnya. Isi kepala Draco memerintahkannya untuk berhenti, tetapi tubuhnya bereaksi sebaliknya. Lanjut.

Bibir Hermione menghilangkan rasa haus yang tak terkatakan yang selama ini dirasakan Draco. Hermione memberikan kepuasan terhadap setiap indra tubuhnya yang sekarang ini tengah berfungsi total, seperti indra penciuman Draco yang kini dipenuhi semerbak keharuman parfum Vanilla Musk yang digunakan Hermione, indra pendengar Draco yang sekarang ini hanya terbuka untuk mendengar desahan Hermione, indra peraba Draco yang saat ini hanya terfokus untuk mengeksplorasi setiap inci tubuh Hermione…

Suara-suara yang menyuruh Draco berhenti kini sudah tak terdengar lagi. Yang tersisa hanyalah semangat Draco yang menginginkan lebih dari Hermione. Draco membuka sedikit bibirnya, membiarkan lidahnya mengelus bibir bagian bawah Hermione, menggodanya supaya bersedia untuk ikut membuka.

Terdengar suara lembut napas Hermione yang tertahan sebelum gadis itu ikut membuka mulutnya. Lidah Draco kini bebas menjelajahi apa yang ada di balik bibir indah Hermione. Sang Pangeran Slytherin dapat merasakan lidah Hermione yang mengucapkan selamat datang dengan caranya sendiri, mengajaknya berdansa dengan ritme yang seirama.

Draco menarik tubuh Hermione semakin mendekat, hingga hampir tidak ada lagi celah dimana udara dapat masuk di antara mereka. Sang Pangeran Slytherin sangat menikmati keberadaan Hermione di pelukannya. Setiap gerakan tubuh Hermione mampu membuat Draco merasa isi otaknya bagai tertutup salju. Ia tak dapat berpikir jernih. Kini ia hanya murni mengandalkan insting primitif semata.

Ketua Murid terpaksa memisahkan diri karena kebutuhan akan oksigen terasa lebih mendesak. Keduanya saling pandang, dengan mata yang setengah tertutup karena masih di bawah pengaruh gejolak reaksi hormonal yang saling bersambut satu sama lain. Draco menarik napas cepat, hampir terengah-engah. Dan saat itu barulah mereka berdua sadar bahwa sejak tadi mereka menjadi bahan tontonan seisi Hogwarts.

Tapi mereka tidak peduli.

--

Draco mengangkat sebelah alisnya saat matanya menangkap sosok Ron Weasley, Harry Potter, dan Ginny Weasley dalam jarak satu setengah meter dari tempat dirinya dan Hermione berdiri, -masih dengan posisi Hermione berada di pelukan Draco-.

Reaksi Ron saat itu benar-benar tak ternilai. Ia terlihat seperti ikan yang tersasar di padang pasir. Megap-megap dengan mata terbelalak seraya mengeluarkan erangan lirih, “Hermione… kau… dan dia… Aku tak pernah tahu… kupikir kau … teganya…”

Wajah Hermione nampak memerah dan ia menundukkan kepalanya sedikit. Draco bisa melihat perasaan bersalah tersirat di wajahnya. Tentu saja. Antara sahabat lama dan Draco. Pilihan yang jelas sulit. Tapi jelas pula yang mana yang kemungkinan besar akan dipilih oleh Hermione. Setelah beberapa lama, Hermione mengangkat wajahnya dan menatap Draco langsung, sebelum berbisik dengan nada suara yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.

“Nah, dengan begini kau sudah mendapatkan balas dendam yang kau inginkan, bukan?”

Draco mengangkat salah satu sudut bibirnya, “Berapa yang kau inginkan untuk ini?”

“Lupakan soal uang, aku tak memerlukan hal seperti itu,” Hermione tertawa kecil, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. Tetapi berikutnya sepasang mata cokelat indahnya mengerling ke tubuh Draco, bagian pinggang ke bawah. Dan ia terkikik saat mengetahui celana seragam Draco terlihat nampak sedikit sempit. Tubuh Draco bereaksi normal selayaknya remaja seumurannya.

“Sampai ketemu di Asrama Ketua Murid nanti malam Draco, kamarku tidak dikunci.” Bisik Hermione nakal sambil berlalu ke meja Gryffindor.

Draco tersenyum.

Ia harus berterimakasih pada kebrutalan Ron.

KEPERGIANMU

Harry Potter

Matahari naik dengan mantap di atas Hogwarts, dan Aula Besar menyala dengan kehidupan dan cahaya. Mereka meindahkan jenazah Voldemort dan membaringkannya di ruangan di luar Aula, jauh dari berpuluh-puluh korban lainnya yang telah mati melawannya. Sisa-sisa dan noda-noda bekas perang sudah dibersihkan oleh McGonagall, Flitwick, Sprout, anggota Orde Phoenix, dan murid-murid tingkat atas yang bersedia membantu. McGonagall telah memasang kembali meja-meja asrama, tapi tak seorang pun duduk sesuai dengan asramanya lagi. Aku memandang berkeliling, mencari kedua sahabatku. Memang agak sulit melihat mereka di antara banyak orang seperti ini. Tapi aku menemukan Ron, sedang bersama keluarganya. Kelihatannya mereka masih berduka atas kematian Fred, terutama George. Aku tidak menghampiri mereka, sengaja. Memberi Ron waktu untuk berduka bersama keluarganya. Maka sekarang mataku mencari-cari Hermione. Aku bertemu pandang dengan keluarga Malfoy, tapi hanya ada seniornya saja di sana, Lucius dan Narcissa Malfoy. Sepertinya mereka bingung harus berbuat apa, jadi mereka diam saja, duduk di meja Slytherin. Mr Malfoy mengangguk ketika menyadari tatapanku, sedangkan Narcissa tersenyum gelisah, mungkin mengkhawatirkan anak mereka.

Aku heran dengan ketidakhadiran Hermione dan Malfoy. Biasanya Hermione selalu bersamaku dan Ron, sekarang entah ke mana. Dan hal apa yang begitu penting sampai Draco Malfoy meninggalkan keluarganya yang malang di Aula dan pergi juga, entah ke mana? Sepintas aku berpikir mungkin Hermione sedang bersama Malfoy. Tapi aku membuang pikiran tersebut jauh-jauh. Mana mungkin mereka sedang berada di tempat yang sama saat ini?

XXX

Hermione Granger

Di sinilah aku berada, di Hospital Wing, terbaring lemah tidak berdaya. Apa yang kulakukan saat perang tadi sangat menguras energiku, ditambah lagi dengan leukemia-ku yang dari tahap kronis sudah berubah menjadi akut. Madam Pomfrey tidak tahu-menahu dengan penyakit yang diderita olehku. Ia belum pernah membaca atau menangani penyakit seperti yang dideritaku sebelumnya. Maka sekarang ia ber-Apparate untuk memanggil penyembuh Muggle, padahal aku baru saja akan menjelaskan penyakit yang kuderita ini.

Aku sengaja tidak memberitahu kedua sahabatku, Harry dan Ron, tentang penyakitku. Mereka tidak perlu ikut khawatir dan cemas karenaku. Sudah banyak yang harus mereka khawatirkan, tanpa perlu ditambah lagi masalah penyakit bodohku ini. Bahkan aku yakin jika kuberitahu pun mereka tidak akan tahu apa itu leukemia, kecuali mungkin Harry tahu karena dia tinggal bersama Muggle. Yah, aku menderita penyakit Leukemia limfositik akut (LLA). Aku tidak tahu kenapa aku bisa terjangkit penyakit ini, tapi aku berasumsi bahwa penyebabnya adalah virus leukemia feline, seperti yang pernah kubaca di salah satu buku tentang ilmu kedokteran di dunia Muggle milik Dad. Aku bisa sedikit membayangkan bagaimana reaksi Harry dan Ron ketika mengetahui bahwa aku menderita leukemia dan tidak pernah memberitahu mereka sekalipun. Harry mungkin hanya mengernyit kecewa dan putus asa serta menanyakan kenapa aku tidak memberitahukan penyakitku kepadanya. Dan Ron, ia bisa bereaksi lebih dahsyat lagi, dan aku tidak mau memikirkannya.

Dan di sinilah aku, terbaring di atas ranjang rumah sakit, melamun menatap langit-langit ruangan. Sekali-sekali mataku menjelajahi Hospital Wing. Banyak sekali yang terluka di sekitarku, terbaring lemah tapi terlihat senang. Mungkin mereka korban luka-luka akibat perang beberapa waktu lalu, yang di mana Harry berhasil membunuh Voldemort dan membangkitkan semangat dan berhasil mengusir ketegangan dunia sihir. Tapi aku tidak berada di sini karena perang, dan kalian tahu sendirilah kenapa.

Waktu terus berjalan tidak kenal lelah, dan aku masih terbaring di sini. Sekarang aku mulai bosan, tapi aku tidak berani untuk berjalan-jalan keluar sebelum Madam Pomfrey dan seorang dokter datang memeriksaku. Aku tidak mau mengambil risiko. Untung saja aku membawa tas manik-manikku karena aku masih menyimpan buku-buku sumber petunjuk ketika mencari Horcrux di sana. Jadi aku berniat menghibur diri sambil menunggu Madam Pomfrey datang dengan membaca ulang Kisah Beedle si Juru Cerita yang diwariskan Dumbledore kepadaku.

XXX

Harry Potter

Tubuhku langsung merosot ketika aku menyandarkan tubuhku ke dinding koridor. Aku sangat lelah. Tapi Hermione tak kunjung kutemukan juga. Aku sudah mencari ke perpustakaan, kamar tidur asramanya (walaupun yang ini tidak berhasil, seperti kejadian Ron tempo hari), bahkan semua toilet perempuan (dan yang membuatku jijik, mereka—para murid perempuan—malah senang karena aku masuk ke toilet mereka). Aku sempat berpikir bahwa Hermione mungkin sedang berada di pondok Hagrid, tapi itu tidak mungkin karena pondok Hagrid sudah terbakar dan belum ada yang memperbaikinya.

Aku nyaris putus asa, tapi aku masih sempat berpikir. Kenapa aku dengan bodohnya tidak berusaha melihat dari Peta Perampok? Mencari di Peta akan jauh lebih mudah daripada berlari mengelilingi Hogwarts seharian. Aku berlari ke kamar tidurku di asrama Gryffindor untuk mencari Peta, mencari Hermione.

Sesudah berjuang melihat titik-titik kecil di Peta, aku menemukan Hermione di Hospital Wing. Aku bingung karenanya. Memangnya apa yang terjadi pada Hermione sampai ia harus dirawat di sana? Daripada berasumsi yang tidak-tidak dan membuang waktu percuma, lebih baik aku pergi ke Hospital Wings untuk menemui Hermione.

XXX

Draco Malfoy

Pangeran Kegelapan sudah mati, Potter yang membunuhnya, dan aku lega. Sejujurnya aku tidak menyesal sama sekali, bahkan nyaris bersorak seperti yang lain, ketika Pangeran Kegelapan berhasil dibunuh oleh si Potter. Aku tidak bersorak, tentu saja, kecuali aku sudah bosan hidup di dunia ini dan meminta Dad untuk melancarkan Kutukan Tak Termaafkan yang paling tidak termaafkan padaku, Avada Kedavra. Tapi aku melihat dari sudut mataku, Dad tersenyum tipis ketika mendengar kematian Pangeran Kegelapan dan mendengar sorak-sorai orang-orang yang ada di Hogwarts sekarang. Mungkin Dad juga lega Pangeran Kegelapan mati, meskipun ia tidak memperlihatkannya, pikirku.

Aku memandang berkeliling. McGonagall mengumumkan bahwa Shackelbolt telah diangkat sebagai Menteri Sihir sementara dan sebagainya, aku tidak peduli. Aku bosan di sini, merasa tidak dianggap oleh orang-orang di sekitarku. Sungguh menyebalkan! Seorang Malfoy tidak terbiasa dirinya diabaikan begitu saja. Jadi, yah, aku memilih untuk pergi ke bawah naungan pohon beech, tempat favoritnya.

Beribu-ribu terima kasih pada siapa pun di sana karena tempat itu sedang sepi sekarang. Aku memang sedang ingin menjauh dari keramaian sekarang, mencari ketenangan. Dan di sinilah aku, berbaring di bawah atap daun-daun beech. Aku bersyukur cuaca sedang hangat sekarang. Tentu saja, sekarang musim semi. Banyak bunga-bunga yang mulai tersenyum senang sekarang, pipi mereka merona bersemangat menyambut musim semi yang sudah lama mereka nantikan. Rumput di sekitarku sedang berdansa bersama angin, terlihat begitu riang dan tidak kalah bersemangatnya seperti para bunga. Tidak jauh dari tempatnya berbaring, terdapat danau yang tampaknya tidak mau kalah dengan teman-teman alamnya, menciptakan riak-riak kecil di airnya yang jernih sehingga terlihat seperti sedang melakukan tarian rumit yang memukau bagi siapa pun yang melihatnya. Daun-daun di pepohonan bergerak anggun, seolah mereka tengah memainkan musik gubahannya dan hanya bisa dinikmati oleh pecinta musik alam.

Aku menikmati semuanya. Tapi masih ada satu masalah yang mengganjal perasaanku, dan aku tidak menyadari apa itu, setidaknya belum.

XXX

Hermione Granger

Kisah Beedle si Juru Cerita sudah selesai kutamatkan sebanyak sepuluh kali dalam beberapa menit terakhir ini. Sekarang aku sudah benar-benar bosan. Untunglah tidak lama setelahnya Madam Pomfrey sudah datang bersama dokter yang dibawanya. Melihat dari name tag yang dipakainya, aku mengetahui bahwa dokter yang dibawa oleh Madam Pomfrey bernama Dustin Broke.

Tanpa berbasa-basi, Dr Broke memeriksaku. Aku menduga Madam Pomfrey sudah memberitahu gejala-gejala penyakit yang kualami ini selama perjalanannya ke Hogwarts.

Ya, aku memang sudah mengalami banyak gejala yang menunjukkan bahwa aku memang terjangkit leukemia. Madam Pomfrey saja yang tidak mengerti dan ketika aku hendak memberinya penjelasan, ia sudah duluan pergi. Aku sering cepat lelah, pucat, dan bernafas cepat. Harry yang paling sering memergokiku sedang berada dalam keadaan seperti ini, tapi aku selalu mengelak memberitahunya. Harry, yang merasakan penolakan, berhenti menanyaiku lagi.

Selain itu , aku mudah terserang penyakit. Ya, sebentar-sebentar aku flu. Ketika sudah selesai flu, terkadang aku malah demam. Begitulah selanjutnya, sampai aku merasa sangat lelah dan putus asa karena leukemia-ku ini. Tapi aku tidak memeriksakan diri ke Madam Pomfrey, dan di situlah letak kesalahanku yang terbesar. Aku sering merasakan nyeri di tulang dan persendianku. Ron pernah menanyaiku tentang hal ini, dan aku hanya menjawab, “Tidak apa-apa, Ron, hanya kelelahan saja.” Jawaban basi. Dan aku benci harus membohongi kedua sahabatku tentang keadaanku.

Oh, lihat siapa yang datang. Harry Potter! Orang terakhir yang ingin kutemui saat ini. Ia berlari, lalu berhenti seperti sedang mencari seseorang. Matanya menangkap mataku, dan ia langsung menyerbu ke tempatku. Seperti yang sudah kubayangkan, ia terlihat cemas dan gelisah. Aku hanya bisa tersenyum, senyum yang mengatakan aku-baik-baik-saja-tidak-usah-mencemaskan-aku. Tapi Harry tidak percaya.

“Hermione, kau kenapa? Kenapa kau pucat seperti ini?” Harry bertanya padaku. Ia nyaris menjerit, membuat Madam Pomfrey, yang kebetulan berada di sebelahnya, menyuruhnya diam dan memberinya peringatan.

“Aku tidak apa-apa, Harry. Aku hanya sedikit terluka akibat perang. Selebihnya aku merasa baik-baik saja.” Aku berbohong, tapi tidak terlalu terlihat meyakinkan.

Sesaat mereka terdiam, tidak ada yang berbicara. Mereka semua menatap Dr Broke yang sedang memeriksaku. Setelah beberapa menit berlalu yang terasa seperti sudah berabad-abad lamanya, sang dokter mendesah, lalu mendongak menatap Hermione dan Madam Pomfrey bergantian.

“Nah, ternyata leukemia-mu sudah masuk ke tingkat akut. Aku mau kau melakukan apa yang kuanjurkan. Kau harus dirawat secara intensif di rumah sakit.” Aku mengerang, tentu saja. Aku bosan terus-menerus berbaring di sini. “Tahap awal pengobatan cukup berat karena dilakukan dengan kombinasi kemoterapi dan obat anti kanker selama tujuh minggu.” Dan seterusnya. Aku hanya mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali mengeluh pelan. Setelah Dr Broke memberikan obat-obatan yang harus diminum olehku—dan ini banyak sekali—aku meminta izin sang matron rumah sakit untuk berjalan-jalan sebentar ke halaman. Madam Pomfrey tidak mengizinkanku, tapi aku memaksa. Dr Broke mengangguk mengizinkanku untuk berjalan-jalan. Harry mengekor. Aku yang sedang ingin sendirian berbalik menghadapnya dan menyarankannya untuk kembali ke Aula Besar karena pasti orang-orang sudah mulai menyadari ketidakhadirannya dan hendak mencarinya. Harry terlihat seperti mau membantah, tapi aku, sekali lagi, tersenyum sambil menggeleng kepadanya dan langsung pergi berlari ke gerbang.

XXX

Harry Potter

Aku merasa aneh dengan sikap Hermione akhir-akhir ini. Ia seperti menghindar dariku, juga Ron. Sekarang ia jadi lebih sering menyendiri. Aku tahu karena penyakitnyalah ia jadi menjauh seperti ini. Tapi ini membuatku merasa tidak nyaman karena kami selalu bersama selama tujuh tahun berturut-turut. Dan sejujurnya, ia seperti bukan-Hermione.

Kaki-kakiku melangkah cepat, membawaku kembali ke Aula Besar. Tujuanku satu, memberitahu Ron apa yang terjadi dengan Hermione. Mata Harry mencari Ron, dan mendapatkannya sedang makan bersama keluarganya. Sekarang aku merasa harus mengganggu acara keluarganya sebentar karena menurutku keselamatan Hermione cukup penting untuk lebih diprioritaskan dibanding dengan acara-makan-bersama-keluarga yang sudah sering dilakukan oleh keluarga Weasley.

Aku menyeret Ron keluar Aula sambil melayangkan pandangan minta maaf kepada keluarga Weasley, yang kebingungan. Aku mencari kelas kosong terdekat dan itu tidak sulit mengingat sekarang ini orang-orang berada di Aula Besar, menikmati euforia kemenangan atas Kegelapan. Ketika masuk kelas, aku menggumamkan mantra Muffliato agar tidak ada yang bisa mendengar ucapan kami. Aku langsung ke pokok masalah, menceritakan apa yang terjadi pada Hermione dan pendapatku mengenainya kepada Ron. Bisa kurasakan Ron menggeram sekali-sekali, mengerang, dan mengeluh.

“Ayo kita temui Hermione sekarang!” ajak Ron cemas.

“Tidak bisa sekarang, Ron. Aku sudah bilang Hermione sedang ingin sendiri sekarang. Bisakah kau memahami perasaannya?” ucapku, agak tidak sabar.

Ron bungkam.

XXX

Draco Malfoy

Masih di sini, menikmati alam. Alam tidak pernah membuatku bosan. Alam memberiku ketenangan, kedamaian, dan kesejukan. Aku tidak pernah tidak menyukainya. Maka di sinilah aku, terbaring di atas rerumputan, beratapkan langit yang cerah. Aku menutup mataku.

Aku mendengar langkah kaki mendekat. Sontak aku membuka mataku dan menengok kea rah gerbang. Oh, ternyata Hermione “Darah-Lumpur” Granger. Aku tidak pernah mempedulikannya, hanya menganggapnya sebagai kecoak atau ketombe di rambut, perusak suasana. Tapi, entah kenapa, aku sedikit senang ia berada di sini, dalam jarak pandangku. Membuatku lega. Sepertinya sebelumnya ia berniat untuk berbaring di tempatku sekarang ini, tapi karenaku, ia membelokkan langkahnya ke arah danau. Ya, ke sana, dan aku kecewa.

Granger melewatiku seolah-olah aku tidak ada. Mungkin ia masih marah dengan sikapku selama ini, padahal aku sudah menyesalinya sejak lama. Sialnya, aku tidak punya nyali untuk meminta maaf kepadanya. Aku terlalu sombong, angkuh, dan arogan. Setiap bertemu dengannya, entah kenapa aku selalu melontarkan ejekan yang memanaskan telinga. Tapi sekarang, aku memilih untuk diam saja, memperhatikannya.

Jenggot Merlin! Dia pucat sekali. Wajahnya yang biasa merona, kini putih tak berwarna. Cara berjalannya pun lemas sekali, tapi kelihatannya ia berusaha untuk tidak terlihat lemah. Ia duduk di tepi danau, melepas alas kakinya, dan mencelupkan kakinya ke danau. Pandangan matanya menerawang. Aku menduga bahwa ia sedang sakit dan ingin menyendiri, karena aku tidak melihat si Harry “Potty” Potter dan Ronald “Weasel” Weasley bersamanya.

Aku terus memperhatikannya. Aku tidak akan pernah bosan karenanya. Ia, dalam imajinasiku, terlihat seperti dryad sejati. Kulitnya, meskipun pucat, terlihat cantik di bawah sinar matahari musim semi. Rambutnya yang coklat berombak indah, dibelai oleh angin. Matanya yang sewarna dengan rambutnya, terlihat manis sekali—sampai aku berniat memakannya. Granger cantik dan aku baru menyadarinya. Aku mencoba menepis bayangan itu jauh-jauh karena itu malah akan membuatku lemah. Ya, lemah karenanya.

Astaga! Kenapa dia? Sepertinya dia mengalami pendarahan. Tidak peduli dengan Granger yang masih marah kepadaku, aku datang menghampirinya dan mencoba menolongnya.

“Tidak apa-apa, Malfoy. Hanya pendarahan kecil biasa.” Aku tidak percaya kata-katanya. “Lagipula aku sudah membawa platelet kok, untuk berjaga-jaga jika terjadi hal seperti ini,” tambahnya. Ia tersenyum, berusaha meyakinkanku. Oh, aku senang sekali. Baru pertama kalinya ia tersenyum seperti ini, senyuman yang tulus. Tidak ada kesinisan atau apapun.

Aku balas tersenyum, lalu berkata pendek, “Ya sudah.” Tapi aku tidak pergi, melainkan duduk di samping Granger, takut ia mengalami pendarahan lagi.

XXX

Hermione Granger

Ah, pendarahan lagi. Untung saja aku selalu membawa platelet dan yang lainnya ketika aku mengetahui aku menderita leukemia. Sebenarnya tidak terlalu parah menurutku, aku bisa mengatasinya. Tapi coba lihat, Draco “Darah-Murni” Malfoy berusaha menolongku, Hermione “Darah-Lumpur” Granger. Demi Merlin, kenapa dia? Mungkin besok akan ada perang lagi, tentu. Aku tidak habis pikir, sejak kapan seorang Malfoy peduli dengan keadaanku? BIasanya ia menganggapku tidak ada, atau menganggapku batu di pinggir jalan. Tapi sekarang? Ia berlari menghampiriku dan mencemaskan keadaanku. Ketika aku memberitahunya bahwa aku tidak apa-apa dan sudah bisa mengatasinya sendiri, ia hanya berkata, “Ya sudah.” dan duduk di sampingku. Aku tidak tahu apa alasannya.

Tapi aku senang karenanya.

Lama kami berdiam diri, menciptakan keheningan yang menentramkan. Aku seharusnya takut atau waspada berada di samping seorang Pelahap Maut. Tapi itu tidak masalah karena—menurutku—ia berbeda dari Pelahap Maut yang lainnya, berbeda dari ayahnya. Aku berpura-pura tertarik dengan riak-riak air di danau yang terlihat berkilau di bawah cahaya matahari, padahal aku menyembunyikan wajahku yang sudah mulai merona sewarna kelopak bunga mawar, cantik kata orang. Sampai akhirnya, Draco Malfoy-lah yang memecahkan keheningan yang mulai agak menyesakkan ini.

“Granger, tadi kau kenapa? Kenapa bisa terjadi pendarahan seperti itu?” Malfoy bertanya, pertanyaan terakhir yang ingin aku jawab karena aku tidak mau banyak orang tahu tentang penyakitku.

“Bukan apa-apa, tidak masalah. Sudah biasa, kok,” jawabku, dan aku tahu bahwa ia, seperti Harry, tidak percaya dengan kata-kataku.

“Kau bohong,” katanya ketika ia menatap mataku. Sepasang mata kelabu yang indah, memancarkan keangkuhan, ketidakpercayaan, dan—mungkin aku salah lihat—kelembutan. Ia melanjutkan, “Aku bisa melihatnya di matamu.”

Memangnya mataku membuka rahasiaku? Sial. Kenapa dia menatapku seperti itu? Aku salah apa? Karena ia sudah terlanjur mengetahui bahwa aku berbohong, jadi aku menceritakan kebenaran saja kepadanya. Tidak tahu kenapa, aku merasa bahwa orang yang sedang duduk di sebelahku ini bisa kupercaya.

Reaksinya sudah bisa kuduga. Tidak jauh dari Harry, ia hanya terkesiap, kemudian kembali ke sikap dinginnya seperti biasa. Tapi matanya, seperti mataku, mengkhianati dirinya sendiri dengan membongkar rahasianya. Aku melihat kepedulian di matanya. Benarkah?

XXX

Draco Malfoy

Granger menderita leukemia? Penyakit Muggle? Pantas saja ia selalu terlihat pucat. Aku tidak heran karena ia kelahiran-Muggle. Aku pernah membaca tentang penyakit ini dari salah satu buku di perpustakaan Hogwarts. Apa yang kurasakan sekarang ini? Kepedulian? Aku bahkan tidak mau mengakuinya meskipun pada diri sendiri. Sejak kapan aku peduli terhadapnya?

Sejak dulu. Suara kecil di benakku mengakui hal itu.

Dari mana kau tahu? tanyaku pada suara kecil di benakku tadi. Berbicara sendiri dengan kepalamu merupakan pertanda buruk.

Sudah lama. Hanya saja kau tidak mau mengakuinya hanya karena dia kelahiran-Muggle.

Ya, itu benar. Tetapi sekarang aku sudah tidak peduli dengan status darah. Persetan dengan status darah. Waktu itu aku peduli karena ayahku. Aku tidak mau dihadiahi Kutukan Cruciatus oleh Lucius Malfoy, tidak waktu itu. Sekarang aku tidak peduli lagi dengan apapun, selain dia.

Aku memutuskan bahwa sekaranglah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya, sebelum terlambat. Aku menengok menatapnya, masuk ke dalam matanya, me-Legilimens-nya selembut mungkin agar ia tidak merasakan apa-apa, dan aku berhasil. Aku mengetahui apa yang ada di pikirannya dan aku meyakinkan diriku. Tapi apa yang kulakukan? Aku menarik Granger dengan satu sentakan ke dalam pelukanku, mendekatkan wajahku ke wajahnya, dan mencium bibir lembutnya. Dan apa yang Granger lakukan? Ia mengalungkan kedua lengannya di leherku, meremas rambutku, dan membalas ciumanku.

XXX

Harry Potter

“Lama sekali, Hermione itu.”

Aku mendengar Ron menggerutu kesal. Ya, itu benar. Padahal sekarang sudah sore tapi Hermione tidak kunjung datang. Apa ada sesuatu yang terjadi padanya? Aku tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Aku harus percaya Hermione baik-baik saja. Mungkin saja sekarang ia berada di Aula Besar untuk minum teh bersama keluarga Weasley (ya, mereka belum pulang) atau sedang membaca buku di perpustakaan.

Kami, aku dan Ron, sedang berada di ruang rekreasi. Kami duduk di tempat favorit kami yang biasa, sofa di dekat perapian. Ruang rekreasi terasa sepi tanpa Fred dan George yang berbuat kekonyolan. Hanya segelintir anak yang berada di sini, kebanyakan mereka berada di Aula Besar. Aku dan Ron sedang bermain catur-sihir untuk membuang waktu. Ron sudah menang enam belas kali dan aku baru menang empat kali. Ron sudah mulai bosan, sekarang ia mondar-mandir mengelilingi ruang rekreasi. Iseng, aku membuka Peta Perampok dan mencari titik Ginny Weasley dan menemukannya sedang berada di Aula Depan bersama Luna Lovegood, mungkin mereka sedang membicarakan perang. Lalu aku mencari titik Hermione Granger, dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihatnya di dekat danau bersama musuh terbesarku dulu, Draco Malfoy. Aku penasaran sekarang. Kukira Hermione sangat membenci Malfoy dan tidak mau berada dekat-dekat dengannya. Yang aku lihat di Peta sekarang, letak titik mereka berdekatan sekali, hampir menyatu. Aku membelalak ngeri. Mungkinkah Hermione dan Malfoy…?

Aku tidak memberitahukan apa yang kulihat di Peta pada Ron. Ia pasti tidak akan bisa mengendalikan diri. Jadi aku memakai Jubah Gaib-ku yang kusimpan di saku jubah dan mengendap keluar ruang rekreasi, menemui Hermione.

XXX

Hermione Granger

Aku tersengal, mencoba menghirup oksigen lebih banyak. Lalu aku tersenyum pada pria di depanku. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku sudah membuang kemungkinan ini jauh-jauh ketika pria di depanku mengataiku dengan sebutan “Darah-Lumpur”. Awalnya aku memang tidak mengerti apa maksudnya, tapi setelah tahu itu sangat menyakitkan dan aku tidak berharap untuk tahu artinya jika jadinya seperti ini. Saat itu, aku berusaha membencinya.

Tapi usahaku sia-sia.

Maka di sinilah aku, terbaring di rerumputan, bersama pria yang sejak dulu kukagumi, Draco Malfoy.

“Draco?” Aku memanggilnya dengan nama depannya. Ia agak terkejut.

“Hm? Apa itu berarti aku boleh memanggilmu Hermione, Granger?” tanyanya.

“Apapun yang kau mau,” jawabku, tersenyum.

Sejenak kami terdiam. Lalu Draco berkata,

“Tutuplah matamu dan beri aku tanganmu, Sayang.”

Aku menutup mataku dan tangan kananku menggenggam tangan kirinya Draco. Draco berbisik di telingaku.

“Aku mencintaimu, Hermione.” Aku tersenyum. “Begitu pun aku.”

XXX

Draco Malfoy

Tanganku menggenggam tangan Granger, yang sekarang kupanggil dengan nama depannya, Hermione. Bahkan aku berani memanggilnya “Sayang”. Aku ikut menutup mataku seperti Hermione, dan tanpa sadar aku terlelap.

Hari sudah menjelang malam ketika aku bangun dari tidurku. Hermione masih terlelap. Aku tersenyum dan mengelus rambutnya lembut. Aku menengadah melihat ke arah barat. Matahari sudah hampir terbenam. Kalau tidak segera kembali ke kastil, pasti orang-orang sudah mulai mencemaskan aku dan Hermione. Karenanya, aku membangunkan Hermione. Tidak ada reaksi. Aku melepaskan genggaman tangan Hermione dan mengguncang-guncang bahunya. Tidak ada reaksi. Aku berteriak sangat keras di telinganya. Tidak ada reaksi. Selintas pikiran muncul di benakku.

Apakah…?

Tanganku bergerak ke tangan Hermione, tidak ada denyut nadinya. Lalu tanganku naik ke lehernya, tidak ada juga. Terakhir, tanganku bergerak ke dadanya, meraba daerah sekitar jantungnya, tidak ada detaknya sama sekali. Tubuh Hermione putih pucat dan dingin. Seulas senyumnya yang manis masih terbentuk di bibirnya yang memutih.

Aku kaget, terkesiap ngeri. Wajahku yang sudah pucat kini lebih pucat lagi, hampir sepucat tubuh di depanku. Mataku menatapnya kosong. Kuusapkan telapak tanganku ke wajahnya yang pucat. Jauh di dalam hatiku, sebenarnya aku takut kehilangan atas nafasnya, nafasnya yang mengalir dalam nafasku. Kubelai rambutnya dengan kelembutan angin malam. Lalu kugenggam tangannya dengan sayang. Di saat yang sama, aku menyadari bahwa ia telah meninggalkanku, bahwa aku sendiri di sini.

XXX

Tamat.

KEAJAIBAN KETUJUH

“Apa yang terjadi jika kita memasukkan bubuk asphodel ke dalam rebusan jahe dan akar magnolia?” Terdengar suara Hermione Granger di Ruang Rekreasi Ketua Murid.

“Aduk sampai rata, tambahkan Wiski Api Ogden dan susu, lalu kita akan mendapatkan bandrek?” Berikutnya terdengar suara Ketua Murid yang satu lagi, Draco Malfoy. Hermione menghela napas sekuatnya sambil mengetukkan jarinya pada halaman buku Ramuan Tingkat Lanjut-nya dengan tak sabar..

“Oh ya, hebat sekali kau…”

Draco mencoret-coret perkamennya dengan malas-malasan, tak memedulikan pandangan kesal Hermione. Sepintas ia melayangkan pandangannya ke arah jam yang sudah menunjukkan hampir tengah malam. Ia menguap lebar.

“Draco, ini serius, dalam dua hari ke depan Professor Slughorn akan menguji kita, dan kau bahkan belum menguasai teori dasar Ramuan Gelitik!” Hermione membalik-balik buku Ramuan-nya dengan tidak sabar, mencoba mencari tahu keterangan mengenai soal yang tadi ia tanyakan pada Draco. Sang Ketua Murid laki-laki hanya melirik.

“Ayolah, masih ada waktu dua hari… memangnya dalam waktu tiga jam pelajaran dia mau memberi kita soal sebanyak apa sih?” Draco mendengus. Hermione melirik sebal.

“Oh Merlin… jadi sekarang apa maumu?”

“Yang pasti tidak mau belajar Ramuan lagi”

”Kau benar-benar membuatku gila…” Hermione menutup buku ramuannya keras-keras. Draco mengangkat sebelah alisnya, salah satu sudut bibirnya naik dan membentuk seulas garis senyum, siap untuk menggoda sang Ketua Murid perempuan.

“Ahh, tentunya, aku merasa tersanjung…” Hermione melirik sadis pada Draco, tak mempercayai pendengarannya. “Maksudmu apa? Kata-kataku barusan bukan pujian…” tanya sang gadis sambil mengibaskan rambut cokelatnya.

Draco mengangkat kedua tangannya. “Terdengar seperti pujian bagiku, akhirnya aku mendengar pengakuan bahwa Hermione Granger, Nona Tahu Segala, Putri Kebanggaan Gryffindor, mengakui bahwa dia tergila gila pada Draco Malfoy, Pangeran Slytherin.” Ujarnya lancar sambil menyunggingkan senyuman menyebalkan, yang entah kenapa justru membuatnya semakin tampan.

Hermione berkacak pinggang. Wajahnya sedikit memerah karena marah. Hari ini Draco sudah berkali-kali menggodanya dan membuatnya kesal. Malam ini puncaknya. Setidaknya untuk hari ini. Bisa-bisanya Draco menganggap keluhannya sebagai pujian. Hermione benar-benar tidak mengerti apa yang ada di dalam kepala pirang Draco. Ia sendiri sudah cukup stress karena ujian tengah semester untuk Ramuan akan diadakan senin besok, tapi hingga sekarang Draco masih tak mau belajar. Ia menyesali nasibnya dan mengutuk Professor Slughorn habis-habisan dalam hati. Bisa-bisanya ia dipasangkan dengan Draco Malfoy. Untuk setahun penuh. Hanya karena mereka berdua Ketua Murid.

“Kau…” Hermione menghentikan kalimatnya. Ia tahu Draco bisa saja dengan mudah membalikkan kata apapun yang dia keluarkan. Karena itu Hermione menarik kembali kata-kata yang siap keluar. Ia melirik Draco sebal sekali lagi, lalu pergi ke kamarnya. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara Draco tertawa menyebalkan.


Sinar matahari masuk melalui jendela kaca ruang tidur Hermione. Ruang Ketua Murid terletak di salah satu menara tertinggi Hogwarts, karenanya Hermione tidak memasang tirai dengan asumsi tak akan ada yang berani mengintipnya di ketinggian nyaris 200 m di atas permukaan danau. Kecuali Harry dan Ron, tentunya. Sesekali kedua makhluk itu mampir ke kamar Hermione saat mereka selesai berlatih Quidditch. Biasanya untuk menghabiskan jatah snack atau sekedar minta minum.

Hermione bangun dengan sedikit enggan. Hari ini sabtu, tidak ada pelajaran, ia belum memiliki rencana untuk hari itu. Diliriknya jam yang terletak di meja samping tempat tidurnya. Hermione mendengus sedikit. Masih pukul enam pagi. Tak ada seorangpun yang sudah bangun jam segini di hari Sabtu. Tapi alas, Hermione sudah terbangun total, ia tak bisa tidur lagi.

Sang Ketua Murid perempuan bangkit dari tempat tidurnya, memakai sandal, dan tanpa repot-repot memakai jubah mandi, ia turun ke Ruang Rekreasi Ketua Murid. Segelas susu cokelat hangat di pagi hari sepertinya menarik. Hermione menyambar tongkat sihirnya, sambil bersenandung ia berjalan menuruni tangga menuju Ruang Rekreasi. Dengan satu lambaian tangan ia membuka semua jendela yang berjejer di dinding setiap sisi ruang, membiarkan udara pagi yang segar dan cahaya matahari memasuki ruangan.

Hermione membuat se-pitcher susu cokelat panas, ia bersyukur ruang Ketua Murid memiliki pantry sendiri, sehingga ia tak perlu merepotkan para peri-rumah jika menginginkan snack atau kopi panas malam-malam. “Wingardium Leviosa!” seru Hermione, dengan satu lambaian tongkat sihirnya, ia memindahkan pitcher berisi cokelat panas, dan sepiring biskuit ke meja yang terletak di tengah Ruang Rekreasi, semerbak harum cokelat memenuhi seluruh ruangan. Ia bersenandung kecil sampai pada akhirnya terkagetkan oleh seseorang yang sudah menghuni Ruang Rekreasi terlebih dahulu.

“Well, pagi yang sempurna untuk mengawali hari...” Hermione melotot kaget saat ia menyadari bahwa Draco Malfoy sudah mendahuluinya berada di Ruang Rekreasi. Sang Ketua Murid laki-laki duduk santai di sofa terbesar, kakinya naik ke meja dimana pitcher susu cokelat Hermione terlihat tinggal setengah penuh. Draco sudah menuang susu cokelat ke pialanya sendiri. Salah satu tangannya memegang biskuit yang sudah dicelup sebagian ke susu cokelatnya. Ia nampak sangat menikmati sekali cemilan paginya.

“Hei! Itu susu cokelat punyaku! Beraninya….” Kata-kata Hermione tertahan begitu saja saat ia menyadari keadaan Draco. Sang Ketua Murid masih mengenakan baju tidur yang dipakainya malam tadi, ahem, tepatnya celana tidurnya, karena Draco hanya mengenakan celana training panjang warna perak dengan aksen garis hijau zamrud di kedua sisinya. Ia tak mau repot-repot mengenakan atasan. Toh ia tahu, tak akan ada yang sanggup memprotesnya meski ia tampil bertelanjang dada dimanapun.

“Ada apa? Kalau kau ingin terus melihatku seperti itu, ambil foto sekalian, tahannya lebih lama.” Kalimat bernada sindiran yang keluar dari mulut Draco menyentak kesadaran Hermione. Gadis itu tak sadar bahwa ia sempat terpana sejenak melihat Draco pagi itu. Mau tak mau Hermione memaksa diri untuk mengembalikan pikirannya terhadap susu cokelat dan biskuitnya yang dipajak Draco.

“Kau tentunya tahu kalau susu dan biscuit itu adalah milikKU, Draco…” Hermione menaikkan salah satu alis matanya, sambil berusaha sekuat tenaga untuk tidak melirik tubuh Draco yang –oh Tuhan,­- atletis. Draco meniru mimik wajah Hermione, ia menaikkan salah satu alisnya, tapi dibarengi dengan senyuman khasnya.

“Dan kau tentunya sudah tahu, kalau susu yang ada cukup untuk dua orang.” Balas Draco santai, “Kecuali jika kau hendak menghabiskan satu liter susu sendirian, aku tak mau lama-lama mengantri kamar mandi nantinya.” Goda Draco sambil tertawa sendiri seolah ia baru saja mengeluarkan joke paling lucu di dunia. Wajah Hermione sedikit memerah, ia sendiri tak ingat telah membuat susu dalam jumlah yang cukup banyak. Ia melenguh.

“Yah, anggaplah aku sedang berbuat baik padamu hari ini.” Tukasnya. Hermione mengibaskan tongkat sihirnya sambil menggumamkan mantra panggil terhadap pialanya sendiri. Dengan satu hempasan, ia duduk di sofa yang sama, di samping Draco, lalu menuang sisa susu di dalam pitcher ke pialanya sendiri. Ditirunya langkah Draco dengan mencelup biskuit ke susu panas.

Hermione baru saja hendak mencelup biskuitnya yang ketiga saat ia menyadari tatapan Draco yang tajam ke arahnya. “Ada apa?” tanyanya bingung. Wajah Draco langsung berubah menjadi wajah paling menyebalkan, senyuman puas yang menyiratkan kemenangan, dipadu dengan alis yang terangkat dua-duanya, matanya memandang nakal ke bawah dagu Hermione, yang semakin curiga dengan kelakuan sang Ketua Murid laki-laki. Hermione menunduk untuk melihat kemana pandangan Draco terarah.

“AAAAAAAAAAARGGGHHHHHH!!! Accio jubah!!” jerit Hermione dengan wajah merah padam. Ia lupa bahwa saat itu dirinya masih memakai gaun tidur satinnya yang tipis, dan tentunya sejak tadi Draco sudah mendapatkan pemandangan yang bagus! Jubah mandi Hermione melesat terbang dari kamarnya, dan mendarat di pangkuan Hermione yang langsung menutupkannya ke tubuhnya. Draco terbahak-bahak sekuatnya di sofa hingga berguling-guling sambil memegangi perut.

“Petrificus Totalus!” teriak Hermione kesal. Dalam sekejap tawa Draco menghilang. Tubuhnya menegang terkunci tak dapat bergerak. Draco mendelik marah pada Hermione, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa, Draco tak membawa tongkat sihirnya, dan sekarang ini kedudukannya tak menguntungkan. Hermione mengetatkan jubahnya, ia hampir menangis saking kesalnya. Gadis itu lantas berlari naik ke kamarnya, tak mempedulikan Draco yang terbujur kaku di sofa.


Hermione mandi dan berpakaian sambil menggerutu. Bisa-bisanya seorang Draco Malfoy menghancurkan pagi yang indah, hanya dengan menuang setengah pitcher susu cokelat ke dalam piala. Sang Ketua Murid perempuan baru saja selesai memasang jepit di rambutnya saat ia mendengar suara ketukan di jendela. Hermione berlari membuka jendelanya dan mendapati Si Anak Yang Bertahan Hidup di jendelanya.

“Harry? Tumben pagi-pagi begini kau sudah bangun?” Tanya Hermione heran, Harry hanya menyeringai sambil menepuk bagian belakang sapu terbangnya. Hermione menaikkan salah satu alisnya sambil melempar pandangan penuh tanya.

“Ayo naik, Hagrid baru saja menolong seekor unicorn melahirkan, dan bayi unicorn hanya mau dipegang oleh wanita, karenanya ia menyuruhku untuk menjemputmu.” Ujar Harry sambil menyorongkan tangannya untuk membantu Hermione. Sang Ketua Murid menjerit kegirangan. Tanpa pikir panjang ia langsung menangkap tangan Harry yang membantunya mengatur keseimbangan di sapu terbang, dan detik berikutnya mereka langsung melesat menuju pondok Hagrid.

Sesampainya di pondok Hagrid, Harry dan Hermione memasuki Hutan Terlarang dengan berjalan kaki. Sebagai murid kelas tujuh, mereka berdua sudah menguasai sihir pertahanan tingkat tinggi, Hutan Terlarang tak ubahnya taman bermain bagi Harry dan Hermione yang sekarang. Mereka tak lagi takut berkeliaran di dalamnya. Terlebih lagi sejak jatuhnya Voldemort, para Centaur kini menjadi aliansi mereka.

Mereka masuk semakin dalam, hingga pada akhirnya melihat Hagrid bersama dua orang anak berambut merah menyala di sarang unicorn. Ron dan Ginny sudah berada disitu terlebih dahulu. Hagrid nampak memberikan beberapa instruksi terhadap Ginny yang sedang merawat salah satu dari dua bayi unicorn yang baru lahir. Hagrid sendiri sedang merawat sang induk unicorn yang kelelahan. Ron melihat kedatangan Harry dan Hermione, lalu melambaikan tangan. Keduanya segera berlari mendekat.

Hermione membantu merawat bayi unicorn yang kedua. Hagrid pergi sebentar untuk mencarikan makanan bagi sang induk unicorn, sedangkan kedua bayinya mencoba untuk menyusu. Ron tak sengaja tersepak sang induk yang berganti posisi, sementara Harry membantu Ginny sebisanya, sulit, sebab sang bayi akan mendesis jika Harry mendekat.

Mereka semua sangat menikmati pengalaman baru ini. Sampai pada akhirnya Hagrid menyuruh keempatnya kembali ke kastil karena sudah lewat waktunya makan siang.


Hermione menghabiskan sisa waktu sesorean di ruang rekreasi Gryffindor. Harry dan Ron pergi ke dapur dan membawakan banyak sekali makanan untuk makan siang mereka yang terlambat. Mereka makan begitu banyak sampai-sampai Hermione memutuskan untuk tidak turun makan malam. Ginny tak habis-habisnya menceritakan mengenai bayi unicorn kepada Parvati dan Lavender yang memekik kegirangan, terutama saat Ginny mengatakan bahwa ia akan kembali lagi keesokan hari, dan mereka berdua boleh ikut. Toh keduanya adalah perempuan, dan tak akan memiliki masalah dalam mendekati kedua bayi unicorn itu.

Harry, Ron, Seamus, dan beberapa anak laki-laki Gryffindor yang lain tengah asyik bermain Exploding Snap di depan perapian. Hermione melirik jendela besar yang terletak di salah satu sisi ruang rekreasi Gryffindor. Sudah gelap, kaca jendela terlihat basah. Bulir-bulir air menetes membanjiri setiap sisi. Dari jauh dilihatnya cahaya kilat menyambar-nyambar. Sang Ketua Murid perempuan mendesah. Hujan turun begitu lebat di luar. Ia naik ke salah satu sofa panjang yang terletak di depan perapian yang menyala-nyala. Hermione berbaring santai sambil menonton yang sedang bermain. Dirapatkannya jubahnya, cuaca dingin dan hawa hangat yang terpancar dari perapian membuat kedua pelupuk mata Hermione terasa begitu berat. Dan dalam hitungan detik ia tertidur.

“Hermione…. Hermi…” lamat-lamat Hermione mendengar namanya dipanggil. Ginny mengguncang-guncangkan tubuh Hermione untuk membangunkannya. Sang Ketua Murid mengusap matanya sambil melempar pandangan penuh tanya pada Ginny. Satu-satunya anak perempuan Weasley itu bertanya balik “Kau hendak tidur di asrama Gryffindor malam ini?”

Hermione melirik jam yang terletak di atas perapian. Pukul sebelas malam. Hanya tinggal beberapa orang anak kelas atas yang berada di ruang rekreasi Gryffindor. Termasuk Harry dan Ron yang masih asyik bermain Catur Penyihir. Ginny sudah berganti baju dengan piama, dan ia memeluk sebuah bantal besar. Hermione menggelengkan kepala.

“Aku akan kembali ke ruang Ketua Murid saja…” ujarnya. Ginny mengangguk paham. Hermione memanjat lukisan si Nyonya Gemuk dan berjalan santai menuju ruang Ketua Murid yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari asrama Gryffindor. Sebagai Ketua Murid ia memiliki kebebasan mutlak untuk berkeliaran di Hogwarts, tak ada yang akan menangkapnya berkeliaran malam-malam. Bahkan Filch sekalipun.

Hermione tiba di di depan lukisan Perenelle Flamel sang Alchemist, di baliknya adalah ruang Ketua Murid yang selama ini ia tinggali bersama Ketua Murid laki laki…

Mata Hermione terbelalak seketika. Ia telah melupakan satu hal yang sangat penting seharian ini….

Draco Malfoy masih dibawah kutukan Ikat Tubuh Sempurna!